Thursday, September 13, 2007

jagan sepelekan khotbah jum'at

assalamualaikum wr wb

mohon diingatkan bila ada yang salah

salah satu syarat sahnya sholat kan harus suci badannya...
agar suci, sebelum sholat berwudlu dulu. nah, salah satu yang membatalkan wudlu adalah hilangnya akal termasuk gila, tidak sadar, dan juga tertidur...
tak terhitung berapa kali aku melihat orang-orang tertidur saat khotbah jum'at, namun tidak mengulang wudlunya...
berarti, orang tadi tidak sah sholat jum'atnya...
sholat yang wajib dan diutamakan masa begitu saja hilang gara-gara ketiduran waktu khotbah?
masih mau terus2an enak2an waktu khotbah atau bersegera introspeksi diri...
hal ini penting dan tidak bisa diacuhkan begitu saja!!!
beberapa ulama berpendapat tiga kali tidak sholat jum'at maka orang itu bisa dikatakan kafir, kalau kita terus2an menyepelekan ketiduran waktu khotbah jum'at, mau dicap kafir???

bukan cuma itu, berbicara saat khotbah juga tidak bisa disepelekan...
sebisa mungkin ditahan jangan sampai kelepasan bicara...
ancamannya adalah rusak jum'atmu!! bukan sekedar rusak sholat jum'atnya, melainkan seisi hari jum'atmu akan rusak, subuhmu, asharmu, maghribmu, isya'mu, dan kalau dalam bulan ramadhan, rusak pula puasamu, sodaqohmu...
celakanya bila kebetulan malam itu lailatul qodar bagimu, maka kamu sudah merusak malam yang keutamaannya melebihi 1000 bulan...

dengan tulisan diatas, saya berharap tiada lagi saudara2ku umat muslim yang menyepelekan khotbah jum'at...
sekian dari saya,
wasalamualaikum wr wb

kangen

ternyata udh lama banget aku g ngisi ni blog...

Monday, May 14, 2007

Istighotsah


02/02/2007(A Khoirul Anam)

"Itighotsah" dalam bahasa Arab berarti “meminta pertolongan”. Istilah istighotsah terdapat dalam wiridan para anggota jama’ah thoriqoh (atau biasa dilafadkan dalam bahasa Indonesia menjadi tarekat) yang berbunyi: “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits..!” Wahai Dzat Yang Mahahidup dan dan Yang Tidak Butuh Pertolongan, berilah pertolongan kepadaku..! Di negara-negara Arab kalau pun kata istighotsah dipakai sebagai satu peristilahan maka itu berarti doa khusus saja yang ucapkan oleh seorang tokoh.

Di Indonesia istighotsah diartikan sebagai dzikir atau wiridan yang dilakukan secara bersama-sama dan biasanya di tempat-tempat terbuka untuk mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT. Sementara doa-doa yang diucapkan pada saat istighotsah adalah doa-doa atau bacaan yang khas diamalkan dalam jama’ah thoriqoh, meski kadang ada beberapa penambahan doa.

Pertama-tama para jama’ah istighotsah membaca surat pertama dalam Al-Qur’an yakni Al-Fatihah sebagai pembuka segala kegiatan yang baik. Selanjutnya jama’ah membaca doa-doa berikut:
1. Istighfar (astagfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah
2. Hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim) meminta kekuatan kepada Allah
3. Sholawat atau doa untuk Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
4. Lafadz tahlil panjang yang berbunyi “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin” sebagai pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa hamba yang sedang berdoa telah melakukan perbuatan dzolim.
5. Memuji asma Allah dengan lafadz “Ya Allah ya Qodim, ya Sami’u ya Basyir, ya Mubdi’u ya Kholiq, ya Hafidz ya Nasir ya Wakilu ya Allah, ya Lathif
6. Kemudian bacaan istighotsah “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits

Jumlah bacaan bisa bermacam-macam antara 1, 3, 7, 33, 100, atau 1000 tergantung sang pemimpin jama’ah istigotsah. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca surat Yasin dan dilanjutkan dengan tahlil untuk mendoakan para orang tua, guru, sesepuh, anak, dan saudara yang telah menghadap Sang Kholiq.

Jauh-jauh hari, jama’ah thoriqoh mengamalkan doa-doa tersebut pada waktu-waktu tertentu di ruangan tertutup seperti masjid, langgar dan musholla dengan penuh kekhusu’an dan dipimpin oleh guru tarekat (mursyid).

Pada akir tahun 1990-an para kiai Nahdlatul Ulama berinisiatif mengajak umat Islam dan bangsa Indonesia untuk berdoa, meminta pertolongan kepada Allah, secara bersama-sama di tempat terbuka. Saat itu Indonesia diperkirakan kiai telah dan akan memasuki bencana besar, maka berbagai elemen bangsa harus berdoa bersama-sama untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Persis tanggal 25 Desember 1997 doa bersama untuk pertama kalinya dilaksanakan secara terbuka di lapangan bola Tambak Sari, Surabaya, dipimpin oleh Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur waktu itu KH Hasyim Muzadi. Ternyata Istighotsah tersebut bisa terlaksana dengun khusu dan syahdu, sehingga bisa membawa ketenangan jiwa. Yang kedua dilaksanakan lapangan Kodam Surabaya yang dihadiri tidak hanya di kalanagan NU tetapi juga kalangan pejabat.

Istighosah kemudian sering dilakukan terutama menjelang dan selama masa krisis 1997-1998. Istighotsah yang paling besar dilakukan di Lapangan Parkir Timur senayan Jakarta oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tidak hanya dihadiri oleh para kiai NU, tokoh umat Islam, tetapi juga para pimpinan partai, pejabat tinggi negara serta para petinggi Militer termasuk Panglima Angkatan Bersenjata. Waktu itu, istighostah selain sebagai doa bersama juga merupakan penegasan komitmen kebangsaan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia saat Indonensia terjadi krisis politik, ekonomi besar dan menghadapi bahaya disintegrasi bangsa.

Istighatsah kini menjadi istilah umum untuk dzikir yang dihadiri oleh banyak orang dan dilakukan di tempat-tempat umum. Istighotsah juga diisi dengan ceramah agama (mau'idzatul hasanah) kemudian ditutup dengan pembacaan doa pamungkas yang dipimpin oleh para ulama secara bergantian.

Madzhab Ahlussunnah Waljama’ah



Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.

Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97).

Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "al-jama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah.

a. Ahlun
Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.

Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl": pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 :


رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45
Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”.

Juga dalam surat Thoha ayat 132:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132

Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat

Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96.
وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.

Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43.

فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (النحل: 43
Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

b. As-Sunnah
Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.

Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah).

c. Arti Kata Al-Jama’ah
Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.

Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah.

Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ
Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.

فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.

اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى

Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.

عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ.
Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.

أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة.
Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”.

KH Nuril Huda (09/05/2007)

Saturday, April 28, 2007

ILMU HAL

Etika Orang yang Berilmu dan Pelajar , 19 Nov 2006
Diterjemah oleh Muhammad Rosyidin*
Muqaddimah

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadhirat junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, utusan yang termulya dan penutup para nabi, juga kepada para keluarga beliau serta para Shahabat RA sekalian.
Amma Ba’du. ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda (yang artinya):

حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ اَنْ يُحْسِنَ اِسْمَهُ، وَيُحْسِنَ مُرْضِعَهُ، وَيُحْسِنُ اَدَبَهُ

“Hak anak terhadap orang tuanya adalah diberi nama yang bagus, diberi ASI, dan diberi pendidikan moral yang bagus”
Hasan Al-Bashri berkata : “Seyogyanya seorang insan berusaha memperbaiki moral pribadinya sepanjang tahun”.
Sufyan bin ‘Uyainah RA berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan parameter teragung, segala sesuatu seharusnya disesuaikan dengan akhlaq, sejarah kenabian dan petunjuk beliau. Apapun yang sesuai dengan pribadi beliau, berarti perkara itu benar adanya, dan apapun yang bertentangan dengan pribadi beliau, berarti perkara itu merupakan suatu kebathilan”.

Hubaib bin Asy-Syahid RA berpesan kepada puteranya: ”Pergaulilah para ahli fiqih dan pelajarilah tata krama mereka, karena yang demikian itu lebih aku sukai dari pada kamu mempelajari banyak Hadits”.
Ruwaim RA berkomentar: ”Wahai buah hatiku! Jadikanlah ilmumu sebagai garam, dan jadikanlah tata kramamu sebagai tepungnya“.
Ibnu Al-Mubarak berkata : “Kami lebih membutuhkan sedikit tata krama dari pada ilmu yang banyak”.
Imam Syafi’i RA suatu ketika pernah ditanya oleh seseorang, “Apa keinginan Anda dalam hal tata krama?”. Beliau menjawab : “Saya akan mendengarkan satu hal tentang tata krama, kemudian diriku bisa merasakan nikmat atas hal itu”. Orang tersebut bertanya lagi : “Bagaimana cara Anda memperoleh tata krama?”, beliau menjawab : “Saya akan mencari tata krama layaknya seorang ibu yang mencari anak tunggalnya yang hilang”.

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketauhidan mendatangkan keimanan, maka barang siapa tidak mempunyai keimanan, maka dia juga tidak mempunyai rasa ketauhidan. Sedangkan keimanan membuat seseorang mentaati syari’at agama, maka barang siapa tidak mentaati syari’at agama, berarti dia tidak mempunyai keimanan maupun ketauhidan. Di sisi lain, penerapan syari’at agama membuat seseorang mempunyai tata krama, maka barang siapa tidak mempunyai tata krama, berarti dia tidak mentaati syari’at agama dan tidak mempunyai keimanan maupun ketauhidan dalam dirinya.

Semua keterangan di atas merupakan penjelasan yang gamblang, pendapat-pendapat yang ditopang oleh cahaya ilham yang terang benderang yang menjelaskan keluhuran posisi tata krama. Yang demikian ini karena semua aktivitas duniawi, baik bersifat nurani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan berguna sama sekali tanpa disertai tata krama yang bagus, sifat yang terpuji dan akhlaq yang mulia. Jika seseorang sudah menghiasi amalnya dengan tata krama pada saat ini, maka hal itu menunjukkan bahwa amal itu juga diterima pada saat nanti. Seorang pelajar membutuhkan tata krama ketika sedang menjalankan studi, sebagaimana guru juga membutuhkan tata krama ketika sedang mengajar.

Mengingat tata krama sudah sampai pada tingkatan di atas, sedangkan sumber-sumber referensinya masih sulit ditemukan. Saya sendiri (penulis : K.H. Hasyim Asy’ari RA) bisa merasakan kebutuhan para pelajar terhadap pelajaran tata krama serta kesulitan mereka untuk mengaplikasikan tata krama tersebut dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, saya bermaksud menyusun risalah kecil ini untuk mengingatkan diriku sendiri maupun para anak-anak yang sedang lalai. Saya memberi judul risalah ini dengan sebutan ”Adabul ’Alim wal Muta’allim”. Semoga Allah SWT memberi kemanfaatan atas keberadaan risalah ini dalam hidupku maupun sesudah hari kewafatanku. Sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat pemilik segala kebaikan.







Bab I
Keutamaan Ilmu, ‘Ulama’, Mengajar dan Belajar Ilmu

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujaadilah : 11

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ ج وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (dengan) beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Maksud Ayat di atas adalah Allah SWT akan meninggikan derajat para ‘ulama’ di antara kalian semua dengan beberapa derajat, dikarenakan mereka mampu menyatukan ilmu dan amal sekaligus.

Ibnu ‘Abbas RA berkata : “Derajat para ulama’ di atas kaum mukminin (yang bukan ulama’) dengan selisih 700 derajat. Sedangkan jarak antar derajat adalah sejauh jarak tempat yang ditempuh selama 500 tahun”. Allah SWT berfirman dalam Surat

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلَئِكَةُ وَأُوْلُوْا الْعِلْمِ ... الأية

Allah SWT memulai Ayat di atas dengan menyebut Dzat-Nya sendiri, kemudian menyebut para malaikat dan yang ketiga Dia menyebut para ahli ilmu. Ayat ini sudah cukup untuk menunjukkan kemulyaan, keutamaan, keagungan dan keluhuran para ahli ilmu.

Allah SWT berfirman dalam Surat Faathir : 28

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَؤُا ط إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Allah SWT berfiman dalam Surat Al-Bayyinah : 7-8

إِنَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّلِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةُ . جَزَآئُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ. ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

Dua Ayat di atas menjelaskan bahwasanya para ulama’ adalah orang-orang yang takut (khusyu’) kepada Allah SWT, sedangkan orang-orang yang takut kepada Allah SWT adalah sebaik-baik manusia. Jadi kesimpulannya, para ulama’ adalah sebaik-baik manusia.
Rasulullah SAW bersabda dalam beberapa Hadits di bawah ini :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُّفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“ Barang siapa dikehendaki oleh Allah untuk memperoleh kebaikan, niscaya Dia (Allah SWT) akan menjadikan orang itu bisa memahami tentang agama”

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

“ Para ulama’ adalah pewaris para Nabi”.
Hadits-hadits di atas kiranya sudah cukup untuk menunjukkan keagungan, keluhuran, kemulyaan derajat para ulama’. Jika sudah tidak ada lagi posisi di atas derajat kenabian, berarti tidak ada lagi yang lebih mulya dari pada posisi para pewaris para Nabi.

Tujuan ilmu adalah pengamalan ilmu dalam kehidupan nyata. Amaliah ilmu merupakan buah ilmu, manfaat kehidupan, dan bekal untuk kehidupan akhirat. Barang siapa memperoleh ilmu, berarti dia beruntung, dan barang siapa tidak mempunyai ilmu, sungguh rugi orang tersebut.

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW ditanya tentang derajat dua orang, orang pertama merupakan ahli ibadah (tapi tidak berilmu) sedangkan orang kedua merupakan ahli ilmu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda dalam beberapa Hadits di bawah ini (yang artinya) :

 “Keutamaan orang berilmu terhadap orang yang ahli ibadah (yang tidak berilmu) seperti halnya keutamaanku terhadap orang-orang yang paling rendah di antara kalian”.

 Barang siapa berjalan pada suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah SWT akan menjalankan dia pada suatu jalan dari sebagian jalan-jalan menuju surga.

 Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun wanita. Dan orang yang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, bahkan ikan hiu di laut.

 Barang siapa pergi untuk menuntut ilmu, niscaya para malaikat akan mendo’akannya dan memintakan keberkahan dalam kehidupan orang tersebut.

 Barang siapa pergi ke masjid semata-mata untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkan suatu kebaikan, maka dia akan memperoleh pahala layaknya pahala haji yang sempurna

 Orang yang berilmu dan orang yang pelajar itu seperti jari-jemari ini – Rasulullah SAW menghimpun antara jari telunjuk dengan jari di sampingnya – dalam hal memperoleh pahala yang sama, dan tidak ada kebaikan (yang lebih utama) pada manusia lain di luar mereka berdua

 “Jadilah engkau sebagai orang alim, orang yang belajar, orang yang mendengar, atau orang yang menggemari mereka, dan janganlah engkau menjadi orang kelima (orang yang tidak mau melakukan 4 hal di atas), karena engkau akan rusak”

 Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada para manusia

 Jika kalian semua melihat pertaman surga, maka datangilah!.

Kemudian Nabi SAW ditanya: ”Wahai Rasulullah. Apa yang dimaksud dengan pertamanan surga?”. Beliau menjawab: Yaitu majlis dzikir.
Syaikh ‘Atho’ berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah majlis-majlis yang membahas tentang hukum halal-haram, bagaimana tata cara jual-beli, sholat, zakat, haji, menikah, bercerai, dsb.

 Pelajarilah ilmu dan amalkanlah ilmu itu
 Pelajarilah ilmu dan jadilah seorang ahli ilmu
 Pada hari qiyamat akan ditimbang (pada timbangan amal); tinta para ulama’ dan darah para syuhada’
 “Tidak ada yang lebih utama ketika menyembah Allah, melebihi penyembahan yang disertai pemahaman agama. Seorang ahli ilmu agama lebih berat godaannya bagi syaitan dari pada 1000 ahli ibadah (yang tidak berilmu)”
 Ada tiga orang yang bisa memberi syafa’at pada hari qiyamat: para nabi, para ulama’ dan para syuhada’

 Diriwayatkan bahwa pada hari qiyamat para ulama’ akan berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya

 Al-Qadhi Husain juga menukil sebuah Hadits bahwa telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau pernah bersabda (yang artinya): barang siapa menyukai ilmu dan ulama’, maka segala kesalahannya tidak akan dicatat sepanjang kehidupannya

 Al-Qadhi Husain juga menukil suatu Hadits bahwa telah
diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda (yang artinya): barang siapa sholat (makmum) di belakang orang alim, maka seakan-akan dia telah sholat (makmum) di belakang nabi, dan barang siapa sholat di belakang nabi, maka sungguh dia telah diampuni

Dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Dzar RA terdapat keterangan bahwasanya mendatangi majlis dzikir (ilmu) lebih utama dari pada shalat 1000 roka’at, berta’ziyah pada 1000 jenazah maupun menjenguk 1000 orang yang sakit.

Sayyidina Umar bin Khatthab RA berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki keluar rumah dalam keadaan memikul dosa seberat gunung-gunung di Tihamah. Kemudian dia mendengarkan (pengajian) orang alim, lalu dia merasa takut dan memohon dosa-dosanya dicabut (oleh Allah SWT), maka dia pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak ada dosa pada dirinya. Jadi, janganlah kalian mengabaikan majlis-majlis para ulama’, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan sejengkal tanah pun di permukaan bumi ini yang lebih mulya dari pada majlis-majlis para ulama’.

Asy-Syarmasahiy Al-Maliky menukil sebuah Hadits dari Nabi SAW dalam permulaan kitabnya yang berjudul Nadzam Ad-Durar (yang artinya): Nabi SAW bersabda: barang siapa menghormati orang alim, maka sesungguhnya dia telah mengagungkan Allah SWT. Dan barang siapa merendahkan orang alim, maka sesungguhnya dia telah merendahkan Allah SWT dan Rasul-Nya

Sayyidina ‘Ali Karramallahu Wajhahu berkata : “Kemulyaan ilmu sudah cukup tergambarkan pada orang yang mengaku berilmu, padahal dia tidak berilmu. Dan hina – dinanya kebodohan sudah tercitrakan pada orang bodoh yang mengelak dari kebodohannya, padahal dia sungguh-sungguh bodoh”. Dalam sebuah sya’ir disebutkan:

 Sudah tampak kemulyaan ilmu oleh pengakuan orang bodoh yang bergembira jika dia disebut berilmu
 Dan sudah jelas rendahnya kebodohan ketika orang bodoh berkata sesungguhnya saya takut dan marah jika disebut bodoh

Ibnu Az-Zabir berkata : “Abu Bakar RA pernah kirim surat kepadaku pada saat saya sedang berada di Irak. Isi surat tersebut adalah ‘Wahai buah hatiku, hendaklah engkau senantiasa menuntut ilmu. Sesungguhnya jika engkau dalam keadaan fakir, maka ilmu itu akan membuatmu kaya (tidak butuh sesuatu yang lainnya), dan jika engkau kaya, ilmu akan menjadi penghias dirimu’.”

Wahab bin Munabbih berkata: ilmu itu akan bercabang sebuah kemulyaan meskipun pemiliknya adalah orang yang hina, akan bercabang sebuah keluhuran meskipun pemiliknya orang yang terhina, akan bercabang ibadah meskipun pemiliknya orang yang jauh (dari Allah SWT), akan bercabang sebuah kekayaan meskipun pemiliknya adalah orang yang fakir, dan akan bercabang kewibawaan meskipun pemiliknya adalah orang yang hina-dina. Lalu Wahab bin Munabbih menembangkannya dalam sya’ir berikut ini (yang artinya);

 Ilmu akan mengantarkan suatu kaum pada puncak kejayaan, dan orang yang berilmu akan dipelihara dari kerusakan

 Wahai orang yang berilmu. Berhati-hatilah. Jangan engkau kotori ilmumu dengan perkara-perkara yang merusak, karena tiada yang bisa menggantikan kedudukan ilmu

 Ilmu itu bisa mengangkat rumah yang tak bertiang, sedangkan kebodohan akan merobohkan rumah keluhuran dan kemulyaan

Abu Muslim Al-Khaulany RA berkata: Ulama’ di bumi ini ibarat bintang-bintang di langit. Jika bintang itu kelihatan oleh manusia, maka mereka akan memperoleh petunjuk, dan jika bintang-bintang itu tersamar oleh manusia, maka mereka akan bingung. Selanjutnya Abu Muslim membuat sya’ir yang semakna dengan keterangan di atas;

 Berjalanlah bersama ilmu ke manapun ilmu itu berjalan. Bukalah pemahaman setiap orang dengan ilmumu

 Ilmu akan menjadi penerang bagi hati dari kebutaan. Ilmu sudah pasti bisa menolong agama ini

 Bergaullah dengan para ahli ilmu dan bertemanlah dengan orang-orang pilihan di antara mereka. Berteman dengan mereka merupakan suatu perhiasan, sedangkan bergaul dengan mereka akan membawa manfaat yang banyak
 Jangan pernah mengalihkan pandanganmu dari mereka. Karena mereka ibarat bintang-bintang petunjuk, yang mana jika ada satu bintang yang tersamar, niscaya ada bintang lain yang tampak bagimu
 Demi Allah. Seandainya tidak ada ilmu, niscaya petunjuk tidak akan jelas dan setiap perkara yang samar tidak akan kelihatan tanda-tandanya.

Ka’ab Al-Ahbar RA berkata: Seandainya pahala majlis ulama’ itu terlihat oleh manusia, tentu mereka akan saling berperang memperebutkan majlis tersebut. Bahkan orang yang mempunyai pangkat pun akan rela meninggalkan semua jabatannya, begitu juga dengan para penghuni pasar akan rela meninggalkan pasar-pasar mereka.

Sebagian dari ulama’ salaf berkata: ”Sebaik-baik pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah sifat bodoh”.

Sebagian dari ulama’ salaf juga berkata: Ilmu itu akan menjaga seseorang dari godaan syaitan, menjadi benteng dari godaan orang-orang yang iri hati, dan akan menjadi bukti kemampuan akal seseorang. Hal ini kemudian disya’irkan dalam bait-bait berikut ini;
 Alangkah bagus akal, dan alangkah terpujinya orang yang berakal. Alangkah hinanya kebodohan dan alangkah tercelanya orang yang bodoh
 Tidak perlu menghina seseorang dalam perdebatan, jika suatu ketika kebodohan akan menghancurkannya ketika ditanya tentang suatu hal
 Ilmu adalah perkara yang termulya yang diperoleh seseorang. Barang siapa tidak berilmu, sebenarnya dia bukan manusia sejati
 Pelajarilah ilmu dan amalkanlah ilmu itu wahai saudara kecilku. Sesungguhnya ilmu akan menjadi perhiasan bagi orang yang mengamalkan ilmunya

Mu’adz bin Jabbal RA meriwayatkan sebuah Hadits (yang artinya): palajarilah ilmu, karena belajar ilmu merupakan perbuatan baik, menuntut ilmu adalah ibadah, menghafal ilmu adalah tasbih, mendiskusikan ilmu adalah jihad, menyampaikan ilmu adalah ibadah, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui merupakan shodaqoh.

Fudhail bin ’Iyadh RA berkata: orang alim yang mengajarkan ilmunya akan di panggil dengan gelar kebesaran di cakrawala langit

Sufyan bin ’Uyainah RA berkata: manusia yang paling luhur derajatnya di sisi Allah SWT adalah orang yang berada di antara Allah SWT dan para hamba-Nya, yaitu para nabi dan para ulama’

Sufyan bin ’Uyainah RA juga berkata: Tidak ada seorang pun di dunia ini yang diberikan sesuatu yang lebih utama dari pada derajat kenabian. Dan tidak ada satu pun yang lebih mulya setelah derajat kenabian, melainkan ilmu dan fiqih. Kemudian Sufyan RA ditanya: Dari mana perkataan ini Anda peroleh?, Sufyan RA menjawab: dari seluruh ahli fiqih.

Imam Syafi’i RA berkata: Jika saja para ahli fiqih yang telah mengamalkan ilmunya bukan termasuk waliyullah, niscaya Allah SWT tidak akan mempunyai wali (orang yang dikasihi) lagi.

Ibnu Al-Mubarak RA berkata : “Seseorang akan senantiasa disebut alim apabila dia selalu mencari ilmu, apabila dia sudah merasa sudah alim, maka sebenarnya dia itu dalam kebodohan”.

Waki’ RA berkata : “Seseorang belum bisa disebut alim sebelum mendengar ilmu dari orang yang lebih tua darinya, dari orang yang seusia dengannya, dan dari orang yang lebih muda darinya”.

Sufyan Ats-Tsauri RA berkata: Perkara-perkara yang menakjubkan sudah merata, namun pada akhir zaman akan lebih merata lagi. Bencana-bencana sudah banyak terjadi, namun bencana dalam masalah agama akan lebih banyak lagi. Musibah-musibah adalah hal yang berat bagi kita, namun kematian para ulama’ lebih berat dari pada itu. Sesungguhnya kehidupan para ulama’ adalah sebuah rahmat bagi suatu umat, sedangkan kematian para ulama’ akan memperlemah agama Islam.

Dalam kitab Shahih Bukhari – Muslim, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia dengan satu kali cabutan, akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan cara mewafatkan ulama’, sampai tidak tersisa lagi orang yang alim, sehingga manusia menunjuk pemimpin yang bodoh lagi dungu, kemudian jika para pemimpin ini ditanya, mereka akan menjawab dengan tanpa disertai ilmu, sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan”.






Pasal

Semua keterangan tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu di atas mengacu pada para ulama’ yang mengamalkan ilmu mereka, bertingkah laku terpuji lagi bertaqwa, dan mempersembahkan ilmu mereka semata-mata karena Allah SWT dan agar bisa mendekat kepada-Nya di surga. Jadi yang dimaksud di sini bukanlah ulama’ yang bertujuan mencari keduniaan, baik jabatan, harta benda maupun berbangga-bangga dengan banyaknya perngikut atau santri mereka.
Dalam suatu riwayat terdapat beberapa Hadits di bawah ini (yang artinya) :

 “Barang siapa mencari ilmu demi tujuan menjatuhkan martabat ulama’, membantah para fuqaha’, atau mencari penghormatan dari manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”. (HR. At-Tirmidzi).
 “Barang siapa belajar ilmu yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, akan tetapi dia mempelajari ilmu itu dengan tujuan keduniaan, maka orang itu tidak akan pernah mencium bau surga”.
 “Barang siapa mempelajari ilmu dengan tujuan selain Allah SWT atau selain mencari ridho-Nya, maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka
 “Pada hari qiyamat didatangkanlah orang yang alim, kemudian orang alim itu dilemparkan ke dalam neraka, lalu usus-ususnya tercabik-cabik, dan dia berputar-putar di neraka layaknya keledai yang mengitari batu gilingan. Selanjutnya penghuni neraka yang lain mengelilinginya dan bertanya : “Apa yang terjadi denganmu?”. Orang alim itu menjawab : “Saya telah memerintahkan kebaikan, akan tetapi saya sendiri tidak melaksanakannya. Dan saya melarang perbuatan keji, akan tetapi saya melakukannya”.

Bisyr RA berkata: Allah SWT telah memberi wahyu kepada Nabi Daud AS (yang berbunyi): Jangan engkau jadikan orang alim yang mendatangkan fitnah di antara Aku dan kamu, karena kesombongan orang alim itu akan menjauhkanmu dari rasa cinta-Ku. Mereka adalah para perampok terhadap hamba-hamba-Ku.

Sufyan Ats-Tsauri RA berkata : “Sesungguhnya ilmu dipelajari hanya untuk tujuan bertaqwa kepada Allah SWT, dan keutamaan ilmu dibanding perkara yang lain adalah ilmu digunakan untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Apabila tujuan ini tercederai dan niat pencari ilmu telah rusak, misalnya dia bermaksud menjadikan ilmu sebagai sarana untuk menggapai keduniaan, baik berupa harta maupun jabatan, maka tiada lagi pahala yang tersisa baginya dan amalnya menjadi hangus tanpa ada balasan, sehingga jadilah dia sebagai orang yang benar-benar rugi secara nyata”.

Fudhail bin Iyadh RA berkata : “Saya memperoleh keterangan yang menyebutkan bahwasanya para ulama’ yang fasiq dan para penghafal Al-Qur’an akan didatangkan terlebih dahulu pada hari qiyamat sebelum para penyembah berhala”.

Hasan Al-Bashri RA berkata : “Siksanya ilmu adalah padamnya hati”. Kemudian Hasan Al-bashri ditanya ; ‘Apakah yang dimaksud dengan padamnya hati?’, kemudian beliau menjawab : “Mencari duniawi dengan cara beramal ukhrawi”.


Bab II
Tata Krama Pelajar Terhadap Dirinya Sendiri

Pembahasan bab ini mencakup 10 materi kajian, yaitu:

1) Seorang pelajar hendaknya menyucikan hatinya dari segala kedustaan, kotoran hati, prasangka buruk, iri hati, aqidah yang sesat dan akhlaq yang buruk. Semua itu dilakukan demi tujuan agar mudah dalam menerima ilmu, menghafalkannya, mengungkap makna-makna tersembunyi dan mudah memahami pelajaran yang sulit dipaham

2) Membagusi niat dalam mencari ilmu, yaitu mencari ilmu bertujuan semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT, mengamalkan ilmu yang dimiliki, menghidupkan syari'at Islam, menerangi hatinya, menghias nuraninya dan beribadah taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla. Seorang pelajar jangan sampai menuntut ilmu untuk tujuan-tujuan keduniaan, misalnya; untuk memperoleh jabatan, pangkat, harta, mengungguli teman-temannya, agar para manusia menghormatinya, dsb.

3) Bergegas mencari ilmu ketika masih muda dan setiap kali ada kesempatan. Pelajar jangan mudah tergoda bujukan nafsu yang suka menunda-nunda dan berkhayal saja, karena setiap waktu yang sudah berlalu tidak bisa diganti lagi. Pelajar juga harus melepaskan segala hal yang bisa menyibukkan dan merintanginya untuk menuntut ilmu secara sempurna, kemudian dia mengerahkan segala daya upaya dan kemampuannya untuk melakukan hal itu, karena segala hal yang merintangi seseorang dalam menuntut ilmu ibarat perampok-perampok yang menghalangi proses belajar

4) Seorang pelajar hendaknya bersikap qona¡¦ah (menerima apa adanya) terhadap makanan maupun pakaian yang dia miliki. Pelajar seyogyanya mau bersabar atas kondisi ekonomi yang pas-pasan demi memperoleh ilmu yang luas. Pelajar juga sebaiknya mampu menghimpun segala cita-cita yang terpecah-pecah di dalam hatinya agar mengalir sumber-sumber hikmah dari dalam hatinya.
Imam Syafi¡¦i RA berkata: Sungguh tidak beruntung orang yang menuntut ilmu dalam posisinya sebagai orang terpandang dan hidup bermewah-mewahan. Sungguh beruntung pelajar yang menuntut ilmu dalam posisinya sebagai orang yang biasa-biasa saja, hidup sederhana dan mau melayani para ulama¡¦.

5) Seorang pelajar harus mengatur waktunya siang dan malam, serta memanfaatkan sisa-sisa usianya dengan baik, karena usia yang sudah terlewati tidak ada gunanya lagi. Waktu terbaik untuk menghafalkan adalah waktu sahur, sedangkan waktu terbaik untuk berdialog ilmu adalah di pagi hari, waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah hari, waktu terbaik untuk belajar dan mengulang kembali pelajaran adalah di malam hari. Sedangkan tempat terbaik untuk menghafal pelajaran adalah di kamar-kamar dan di setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan. Tidak baik menghafalkan pelajaran di tempat yang penuh dengan pepohonan, penuh tanaman, di dekat sungai-sungai, maupun tempat-tempat yang bising oleh suara-suara

6) Seorang pelajar hendaknya menyedikitkan makan dan minum, karena kekenyangan bisa membuatnya malas beribadah dan membuat tubuhnya merasa berat melakukan aktivitas. Di antara manfaat sedikit makan adalah badan yang sehat dan jauh dari berbagai penyakit jasmani, karena penyebab dari penyakit jasmani adalah banyaknya makan dan minum. Ada sebuah sya¡¦ir yang semakna dengan keterangan di atas;
ƒÔ Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau ketahui adalah disebabkan makanan dan minuman
Menyedikitkan makan dan minum juga bisa membersihkan hati dari sikap semena-mena dan sombong. Ingat!, tidak seorang pun dari para waliyullah, para imam maupun para ulama¡¦ pilihan yang mempunyai sifat atau disifati sebagai orang yang banyak makan. Tidak ada yang bisa dipuji dari orang yang banyak makan, hanya binatang yang tak berakal dan digunakan untuk bekerja saja yang dipuji jika makannya banyak

7) Seorang pelajar hendaknya memilih sikap wira¡¦i dan hati-hati dalam segala tingkah-lakunya. Pelajar harus berusaha keras untuk memperoleh perkara yang halal-halal saja, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala kebutuhannya yang lain. Tujuannya adalah agar hatinya menjadi terang dan mudah menerima ilmu dan cahaya ilmu, sehingga ilmu yang diperoleh menjadi ilmu yang bermanfaat. Seorang pelajar sebaiknya menggunakan kemurahan-kemurahan yang telah diberikan oleh Allah SWT jika memang diperlukan dan ada sebab-sebabnya, karena Allah SWT ridho jika kemurahan-kemurahan-Nya dilakukan oleh para hamba-Nya sebagaimana Dia ridho jika perintah-perintah-Nya ditaati oleh para hamba-Nya

8) Seorang pelajar lebih baik menyedikitkan makan makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan melemahkan kinerja panca indera. Misalnya; buah apel yang masam, kacang-kacangan, dan minum cuka. Begitu juga mengkonsumsi makanan-makanan berlendir yang bisa memperlemah kinerja otak dan menambah berat badan, misalnya; banyak makan susu, ikan laut, dsb. Para pelajar sebaiknya juga menghindari hal-hal yang biasaya menimbulkan sifat lupa, misalnya; makan makanan bekas gigitan tikus, membaca batu nisan kuburan, berdiri di antara dua ekor unta yang berdiri sejajar, serta membuang kutu rambut dalam keadaan hidup-hidup

9) Seorang pelajar seharusnya menyedikitkan tidur sepanjang tidak berdampak buruk pada kondisi tubuh dan akalnya. Dalam sehari-semalam, pelajar maksimal tidur dalam waktu 8 jam, yaitu setara dengan 1/3 hari. Seorang pelajar diperkenankan untuk mengistirahatkan dirinya, hati, akal dan indra penglihatannya apabila dia sudah merasakan kelelahan. Pelajar boleh memulihkan kondisi tubuhnya dengan cara berekreasi dan bersantai-santai di tempat-tempat rekreasi sekira rekreasi tersebut memang benar-benar bisa memulihkan kondisi tubuhnya menjadi bugar kembali, bukan justru semakin melelahkannya.

10) Meninggalkan pergaulan. Pergaulan yang dilarang di sini adalah pergaulan yang lebih banyak menyita waktu untuk bermain-main saja dan tidak banyak mengasah pikiran pelajar. Apabila seorang pelajar memang benar-benar butuh bergaul, maka sebaiknya dia mencari shahabat yang berkepribadian baik, kuat agamanya, bertaqwa, wira¡¦, bersih hatinya, banyak berbuat baik dan jarang berbuat buruk, mempunyai harga diri yang bagus, anti pertengkaran, mau mengingatkan apabila si pelajar sedang lalai, serta mau membantu si pelajar.

Rasulullah SAW


6 April 2007 13:15:13

“Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang terasa berat baginya penderitaan kalian; penuh perhatian terhadap kalian; dan terhadap orang-orang Mukmin, sangat pengasih lagi penyayang” (Q.s. 9:128)


Nabi Muhammad SAW diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (Q.s. 21:107). Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya merupakan rahmat. Merupakan kasih sayang bagi semesta Alam.

Tentulah bukan kebetulan, bahkan hal yang wajar bahwa pembawa kasih saying adalah seseorang yang pengasih dan penyayang. Siapapun yang mempelajari Sirah Nabi SAW, akan menjumpai kisah-kisah kasih sayang Nabi Muhammad SAW, sebagaimana siapapun yang mempelajari syariat agama akan dengan mudah menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam.

Kasih sayang bisa dengan mudah Anda temui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul SAW, baik sebagai bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai saudara di kalangan handai taulan, sebagai teman di kalangan sahabat, sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan ummat, bahkan sebagai manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain.

Dalam surat At-taubah ayat 128 yang terjemahannya dinukil di awal tulisan ini, Allah menyifati nabi Muhammad SAW dengan beberapa sifat yang kesemuanya merupakan penggambaran akan besarnya kasih sayang beliau. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang ‘aziezun alaihi maa’anittum, yang merasakan betapa berat melihat penderitaan dan harieshun ‘alaikum yang sangat mendambakan keselamatan kaumnya; dan raufun rahiem, pengasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.

Penderitaan kaumnya terasa berat sekali bagi Rasulullah SAW; baik pedneritaan itu dialami di dunia maupun –apalagi- di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW hariesh, penuh perhatian , dan sangat mendambakan keselamatan kaumnya –ummat manusia- jangan sampai menderita. Dan hal ini dapat dilihat dari sikap dan sepak terjang beliau dalam kehidupan dan perjuangannya : bagaimana beliau menyantuni dan menganjurkan penyantunan terhadap kaum dhu’afa; bagaimana beliau menegakkan dan menganjurkan penegakan kebenaran dan keadilan; bagaimana beliau menghormati dan menganjurkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; bagaimana beliau berperingai dan menganjurkan untuk berperangai mulia (akhlaq al-kariemah); dan bagaimana beliau tak henti-hentinya melakukan dan menganjurkan amar ma’ruf nahi munkar dan seterusnya.

Khusus tentang amar ma’ruf nahi munkar, bahkan menjadi ciri Nabi dan juga –diharapkan menjadi ciri- ummatnya. Amar ma’ruf nahi munkar, apabila dicermati, kiranya memang merupakan pengejawantahan dari keinginan keselamatan ummat manusia, agar tidak menderita, yang bersumber dari –dan didorong oleh kasih sayang itu pula.

Memang, boleh jadi hanya orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan memahami arti sebenarnya dari kasih sayanglah yang mau dan menerima amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar hampir tidak bisa dibayangkan berjalan dan apalagi membudaya dalam masyarakat yang tidak aling menyayangi dan mengasihi.

Maka tidaklah mengherankan bahwa, sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW sangat ditaati, karena dan denga kasih sayang; bukan ditaati karena ditakuti dan dengan kebencian atau keterpaksaan. Jadi, kasih sayang Allah yang mewujud dalam firman-Nya – perintah dan larangan-Nya- melalui pribadinya yang pengasih dan penyayang – ke dalam kehidupan ummat manusia. Atau boleh pula dikatakan apabila Islam merupakan kasih sayang Allah, maka Nabi Muhammad SAW merupakan “bentuk konkret” dari Islam itu sendiri. Maka tidak berlebihan jika Sayyidatina Aisyah r.a ketika ditanya tentang Rasulullah SAW hanya mengatakan “Kaana khuluqul-Qur’an” (Perilaku beliau adalah Qur’an).

Dan kaum muslimin yang berimanlah yang selanjutnya diharapkan meneruskan membawa kasih sayang Ilahi itu kepada semesta alam. Bukankah Allah sendiri berfirman kepada Nabi SAW “Qul in kuntum tuhibbuun Allah fattabie’unnie yuhbibkumullah…” (Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah jejakku; niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”) (Q.s. 3:31). Wallahu a’lam. (A. Mustofa Bisri)

Dzikir dan Sufi

18 Januari 2007 12:33:32

Oleh: A. Mustofa Bisri

Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan.

Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalujauh pengertian-nya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya.

Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja."

Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nya Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba.

Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih. Inilah tingkat kebahagiaan yang tertinggi."

Sebenarnya dengan "dzikir ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba — jika mengamalkan secara benar — tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun membuat "dzikir ma'tsur" itu seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!"

Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. la'merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. Firman Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (Q.s. Ali Imran: 191).

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya."

Istilah sufi ada yang mengatakan bermula dari shafa, nama bukit terkenal di Mekkah. Ada yang mengatakan bermula dari sliafaa' yang berarti jernih. Ada yang mengatakan bermula dari siiffah. Seperti diketahui, ada kelompok sahabat Nabi yang fakir yang tinggal di masjid dan disebut ahlussuffah. Ada yang bilang bermula dari ash-Shaf al-Aival, barisan pertama dalam salat berjamaah. Bahkan ada yang berpendapat, bermula dari kata Yunani sofia, yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.

Namun semua itu dari segi kaidah bahasa tidak cocok. Semua kata itu tidak dapat dinisbatkan menjadi shufi atau sufi. Karena itu kebanyakan ulama, termasuk kalangan tasawwuf sendiri, cenderung berpendapat bahwa kata itu bermula dari shuuf, yang berarti bulu. Seperti diketahui, para fakir yang meng-khususkan dirinya untuk Allah, mempunyai kebiasaan berpakaian sangat sederhana dari bulu domba. Dan ini kemudian menjadi cirinya. Jadi tashawwafa-yatashawwafa-tasawwuf, artinya semula orang yang berpakaian bulu. Seperti takhattama, artinya orang yang memakai cincin. Sedangkan dari istilah, kita menjumpai banyak definisi dibuat orang. Dan seringkali apa yang discbut definisi itu hanya merupakan ungkapan-ungkapan irsyadiyah.

Di dalam Kitab at-Ta'riefaat oleh All bin Muhammad as-Syarief al-Jurjani, tasawwuf dita'rifkan sebagai: "Menetapi etika-etika agama secara lahiriah sehingga ketetapannya di batin terlihat dari luar dan secara batiniah, sehingga ketetapannya di luar dapat terlihat dari dalam." Kcmudian diterangkan pendapat-pendapat orang tentang tasawwuf yang antara lain adalah:

- Aliran yang keseluruhannya kesungguhan tanpa dicampuri main-main sedikit pun;
- Membersihkan hati dari menuruti kemanusiaan, meninggalkan perangai-perangai kodrati, mengubur sifat-sifat manusiawi, mcnjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati sifat-sifat ruhani, bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, melakukan hal-hal yang lebih baik bagi keabadian, berbuat baik kepada segenap
ummat, patuh kepada Allah secara benar, dan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul saw.;
- Meninggalkan ikhtiar;
- Mencurahkan segala kesungguhan dan berbahagia dengan Tuhan yang disembah;
- Berpaling dari penolakan;
- Kejernihan muamalah dengan Allah dan pokoknya adalah meninggalkan dunia;
- Sabar di bawah perintah dan larangan;
- Berpegang pada hakikat, berbicara mengenai yang lembut-lembut, dan memutuskan harapan terhadap apa yang di tangan makhluk.

Dalam kitab-kitab mengenai tokoh-tokoh sufi bisa dijumpai banyak sekali ungkapan-ungkapan ringkas, padat, laiknya kata-kata hikmah mengenai tasawwuf atau sufi dalam rangka menerangkan definisinya secara ilmiah. Tapi mengutarakan saripatinya sesuai pandangan penghayatan mereka masing-masing

Seperti kita ketahui dan yakini, manusia semula (Adam as) diciptakan Allah dari tanah liat (Q.s. 6: 2, 7: 12, 23:13, 37: 11, 38: 71, 17: 61). Menurut beberapa mufassir, ada selang waktu cukup lama sebelum bentuk manusia yang bermaterikan tanah liat itu benar-benar menjadi manusia yang ber-ruh. Sebelumnya diberi ruh Allah, seperti difirmankan Allah di awal Surat Al-Insan, ia sekadar materi yang bukan apa-apa. "Lam yakun syaian madzknuran," belum merupakan sesuatu yang pantas disebut. Baru setelah Allah memberinya ruh dan melengkapinya dengan pendengaran, penglihatan dan af-idah (yang mampu dengannya menerima "ajaran Allah"), dia bisa disebut manusia sejati. Khalifah Allah yang kemudian diperkcnalkan kepada para Malaikat dan iblis untuk disembah-hormati atas perintah-Nya.

Semua menyembah Adam kecuali iblis. Karena semuanya hanya melihat Allah dan perintah-Nya. Sedang iblis, satu-satunya yang menolak, hanya melihat materi. "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau nienciptakniku dari api dan menciptakannya dariitanah liat." (Q.s. 7: 2). Iblis melihat materi dirinya berupa api jauh lebih baik dari materi Adam yang berupa tanah liat. Bila mengingat materi, barangkali manusia setelah Adam akan terli¬hat jauh lebih rendah lagi. Karena hanya terdiri dari nuthfah amsyaaj, mani yangbercampur. (Q.s. 76: 2).

Dari tanah liat atau dari nuthfah amsyaaj, kehidupan manusia adalah ketika Allah sudah meniupkan ruh dari-Nya. Ketika itulah kelengkapan materi manusia yang kemudian disebut jasad menjadi hidup dan berfungsi. Ruh inilah yang memungkinkan manusia "berkomunikasi" dan "berkonsultasi" dengan Sang Penciptanya Yang Maha Agung dan Maha Lembut. Ruh inilah yang sejak semula berikrar mengakui Tuhannya dan mengakui kehambaannya.

Karena itu menurut kalangan tasawwuf, ruh yang berasal dari alam arwah itulah hakikat manusia. Sedang jasad yang berasal dari alam al-Khalaq, penciptaan, sekadar kendaraannya. Ruh bersifat dan berhubungan dengan cahaya, sedangkan jasad bersifat dan berhubungan dengan materi. Orang yang hanya melihat materi, seperti iblis, akan lupa atau mengabaikan Tuhannya padahal ada di hadapannya. Dan dia akan merugi selamanya. Sebaliknya orang yang hanya melihat Allah, seperti para Malaikat, akan lupa atau mengabaikan dunia yang materi ini. Dan dia akan abadi dalam kebahagiaan. Untuk menjadi yang terakhir inilah orang-orang tasawwuf bermujahadah melawan dirinya sendiri, godaan setan dan gemerlap dunia.

Thursday, April 19, 2007

Cermin

2 Oktober 2006 01:25:53

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenangkan atau yang tidak, bahkan mungkin yang membuat kita malu.

Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tidak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Karena hampir semua orang ingin dirinya patut.

Tanpa bercermin kita tidak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.

Di dalam Islam, ada dawuh,” Almu’minu miraatul mu’min”,” Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain”; “Inna ahadakum miraatu klhiihi”,” Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya masing-masing orang mukmin bisa –atau seharusnya-- menjadi cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.

Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita. Umumnya kita hanya –dan biasanya lebih suka—melihat noda dan aib orang lain. Sering kali justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.

Di bulan suci, dimana kita bisa tenang bertafakkur memikirkan diri sendiri --dan inilah sesungguhnya yang penting—, kadang-kadang kita masih juga kesulitan untuk melihat kekurangan-kekurangan kita. Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Maka bercermin pada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.

Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas katimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya; lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?

Kita mungkin merasa jengkel, muak, atau minimal tidak suka. Kemudian marilah kita andaikan kawan-kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat. Apakah kira-kira mereka juga jengkel, muak, atau minimal tidak suka melihat sikap dan perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka yang tidak normal.

Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai buruk kita. Demikian pula sebaliknya; apabila kita senang melihat perangai orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai kita menyenangkan.

Namun kadang-kadang kita seperti tidak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap tidak penting. Orang lain hanya kita anggap sebagai figuran dan kitalah bintang utama.

Ada sebuah hadis sahih yang sering orang khilaf mengartikannya. Hadis sahih itu berbunyi Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi. Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia menyintai saudaranya sebagaimana menyintai dirinya.” Pemaknaan ini kelihatannya benar, tapi ada yang terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Disana redaksinya yuhibba liakhiihi (menyintai untuk saudaranya), bukan yuhibba akhaahu (menyintai saudaranya), Jadi semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri”.

Artinya apabila kita senang atau suka mendapat kenikmatan, misalnya, maka kita harus –bila ingin menjadi sebenar-benar mukmin—juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan. Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang bila saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya.

Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tidak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.

Demikianlah kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis yang mulia itu dengan melihat cermin. Saudara kita adalah cermin kita.

Nasihat Hasan Bashari

7 September 2005 07:22:05

NASIHAT HASAN AL-BASHARY
Oleh: A. Mustofa Bisri

Begitu Umar Ibn Abdul Aziz –yang disebut-sebut sebagai mujaddid penghujung abad I dari kalangan umaraa— diangkat sebagai khalifah, beliau mengirim surat kepada imam Hasan al-Bashary –yang juga disebut-sebut sebagai salah satu mujaddid penghujung abad I dari kalangan ‘ulamaa. Dalam suratnya itu, khalifah Umar meminta imam Hasan agar memerikan kriteria al-imaamul ‘aadil, penguasa atau pemimpin yang adil.

Imam Hasan pun menjawab dengan kalimat-kalimat yang indah, “Ketahuilah, wahai Amiral mukminin, bahwa Allah menjadikan al-imaamul ‘aadil sebagai penegak setiap yang doyong; pembasmi setiap kelaliman; pembaik setiap kerusakan; penguat setiap yang lemah; pembela setiap yang dilalimi; tempat berlindung setiap yang memerlukan pertolongan.”

“Al-imaamul ‘aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan gembala yang bersikap lembut kepada gembalaannya yang membawanya kepada tempat gembalaan yang paling baik dan menjaganya jangan sampai merumput di tempat yang berbahaya; menjaganya dari binatang buas dan melindunginya dari panas dan dingin.”

“Al-imaamul ‘aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan seorang ayah yang menyintai anaknya yang merawatnya ketika kecil dan mengajarnya hingga besar; bekerja untuknya sepanjang hidupnya dan menabung bagi kepentingannya setelah ia tiada. Al-imaamul ‘aadil bagaikan seorang ibu yang belas kasih terhadap anaknya; rela menanggung beban mengandung dan melahirkannya; mendidiknya penuh kesabaran; menjaganya siang-malam; gembira bila anaknya sehat dan sedih bila ada keluhan sakit darinya.”

“Al-imaamul ‘aadil, wahai Amiral mukminin, adalah pengampu anak-anak yatim; gudangnya orang-orang miskin yang merawat bocah-bocah mereka dan meransum orang-orang tua mereka.”

“Al-imaamul ‘aadil, wahai Amiral mukminin, ibarat kalbu di antara bagian-bagian tubuh; bagian-bagian itu akan baik selama ia baik dan akan rusak apabila ia rusak.

“Al-imaamul ‘aadil, wahai Amiral mukminin, adalah orang yang berdiri antara Allah dan hamba-hambaNya; mendengarkan firman Allah dan memperdengarkannya kepada mereka, memandang kepada Allah dan memperlihatkan kepada mereka, tunduk kepada Allah dan memimpin mereka.’

“Maka, wahai Amiral mukminin, dalam kekuasaan yang diberikan Allah kepada Anda, janganlah Anda seperti seorang budak yang diberi kepercayaan tuannya untuk menjaga harta dan keluarganya lalu mengangkangi harta dan bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga tuannya itu, sehingga keluarganya menjadi miskin dan hartanya terhambur-hamburkan.”
“………………………..”

Sebenarnya surat itu masih panjang, namun yang dikemukakan disini kiranya sudah cukup sebagai cermin bagi para pemimpin atau penguasa atau calon-calon pemimpin atau penguasa.

Umar Ibn Abdul Aziz bukanlah presiden modern dari negara demokratis. Ia adalah khalifah, penguasa negara yang menganut sistem kerajaan. Ia tidak dipilih rakyat dari antara mereka, tapi dicomot dari lingkungan ningrat istana. Karenanya, ia tentu saja sudah terbiasa dengan kemewahan hidup. Kalau ketika ‘hanya’ menjadi keluarga istana saja, dia sudah bergelimang kemewahan; maka saat menjadi khalifah –seandainya ia mau— kesempatan untuk lebih bermewah-mewah lagi jelas sangat terbuka. Dia penguasa tunggal dan kekuasaannya tidak terbatasi. Presiden negara demokratis yang kekuasaannya tidak tak terbatas saja, kemewahannya kadang luar biasa.

Begitu diangkat menjadi khalifah, yang pertama dilakukan Umar Ibn Abdul Aziz, bukan berkonsultasi kepada yang lain, tetapi kepada Hasan al-Bashary. Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki Syeikhul Islam dan Sayyidut Taabi’ien yang ketika wafat tahun 110 H tak ada seorang pun penduduk Bashrah yang tak keluar melayatnya. Rahimahullah.

Al-Bashary, meski diminta oleh dan memberi nasihat kepada khalifah, ia bukanlah semacam tokoh disini sekarang yang sering disebut pers sebagai penasihat spiritual. Umumnya yang disebut penasihat spritual penguasa sejak zaman Soekarno, tak lebih dari dukun atau paranormal yang sama sekali tak mudheng tentang kehendak Allah dan persoalan negara. Karenanya nasihat-nasihatnya belum pernah membawa kemaslahatan, bahkan sering kali malah menambah kacau negeri ini saja.

Lihatlah penggalan nasihat Hasan al-Bashary di atas. Itulah nasihat spiritual. Itulah nasihat ulama yang arif. Mana kini ada nasihat kepada pemimpin atau penguasa seperti itu? Atau mana sekarang ada pemimpin atau penguasa mau meminta nasihat kepada orang waras seperti itu? Kalau pun ada, mana ada pemimpin atau penguasa yang mau mendengarkannya? Kalau pun ada mana ada yang mau menjadikannya sebagai pedoman? Pemimpin atau penguasa sekarang –satu dan lain hal karena terlampau sadar akan kelebihannya-- rata-rata terlalu angkuh untuk menerima hidayah.

Umar Ibn Abdul Aziz yang raja, yang kekuasaannya tak terbatas itu, bukan saja meminta dan mendengarkan nasihat Hasan al-Bashary, tapi benar-benar menjadikannya sebagai pedoman. Baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin dan kepala negara. Kesederhanaan dan tawadluknya, kalau diceritakan sekarang, pasti kedengaran seperti dongeng. Sejak menjadi khalifah hingga wafat, misalnya, dia tidak pernah sujud menggunakan alas sajadah sebagaimana kita yang –untuk merendah bersujud kepada Allah pun-- masih repot memikirkan kemuliaan dan kebersihan kening kita sendiri. Meski sebagai khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz tidak pernah kehilangan kesadarannya sebagai hamba Allah.

Meskipun tidak ada undang-undang dasar negaranya yang menyatakan –seperti pasal 34 UUD kita-- ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara’, khalifah Umar tak membiarkan ada warga negaranya yang terlantar dan fakir miskin yang tak tersantuni. Umar Ibn Aziz begitu adil hingga dijuluki Umar Kedua dan begitu arif hingga dijuluki Khalifah Rasyidin Kelima. Maka negerinya pun barakah dan ia dicintai rakyatnya sebagaimana ia mencintai mereka. Pemimpin atau penguasa yang baik adalah mereka yang ditaati karena dicintai, bukan karena ditakuti atau diincar manfaatnya seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa kita.

Kita sangat merindukan pemimpin dari kalangan umara yang memiliki sedikit saja kesederhanaan, ketawadlukan, dan keadilan Umar Ibn Abdul Aziz. Kita merindukan pemimpin dari kalangan ulama yang memiliki sedikit saja keluasan pandangan, keberanian, dan kearifan Hasan al-Bashary.ه

Monday, April 16, 2007

etika merayakan maulid

Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa [1]. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.

Imam Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid pertama yang disusun oleh ulama.

Di negeri kita tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.

Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi

Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.


Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.


Pendapat Ibnu Taymiyah:


Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".

Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb.

Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.

Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya.

Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama).

Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).


Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah".

Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta".

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".

Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".

Imam Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".[2]

Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah".

Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat"

Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.


1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.

2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم


"Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.


Kesimpulan Hukum Maulid

Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai berikut:


1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.

2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.

3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.


Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.


Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.


Etika merayakan Maulid Nabi

Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:


1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56.


2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah.

Syekh Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar".[3]

3. Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.

3. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.

4. Meningkatkan silaturrahmi.

5. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita.

6. Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.

Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". [4]


Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain.
Begitu juga peringatan maulid tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW.

Ustadz Muchib Aman Aly

Ustadz Muhammad Niam



[1]Imam Ghazali Said MA, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, meragukan kebenaran data imam Suyuthi ini. Menurutnya, tradisi peringatan maulid sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang Syi'ah sebelum raja Al-Mudhaffar. Menurut penulis, ada kesalahan pemahaman dari penjelasaan imam Suyuthi ini. Imam Ghazali Said MA tidak memahami kontek penjelasan imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi (kumpulan fatwanya). Imam Suyuthi hanya memberi penjelasan bahwa raja-raja Islam yang pertama kali mengadakan peringatan maulid secara besar-besaran adalah raja Al-Mudhaffar. Beliau tidak menyinggung rakyat biasa yang bukan raja, tidak pula menyinggung raja yang memperingati secara sederhana yang tidak sebesar perayaan peringatan maulid yang dilakukan raja Al-Mudhaffar. Bisa saja sebelumnya telah ada beberapa orang atau bahkan ulama yang memperingatinya, namun tidak menjadi acara resmi Negara. Atau bahkan raja-raja sebelumnya telah ada yang memperingatinya, namun tidak semeriah Al-mudhaffar, sehingga tidak sampai menggugah para sejarawan untuk mencatatnya sebagai peristiwa yang luar biasa.

[2] Al-Hawi li al-Fatawa juz l hal. 251-252.

[3] Fatawa Syar'iyyah juz l hal.131.

[4] Mawsu'ah Yusufiyyah juz l hal. 149.